Friday, November 4, 2011

Allah Tempat Kembali

Manusia, sejak berada di alam rahim lagi sehingga memasuki liang lahad sentiasa berada dalam proses perjalanan dan perjuangan menuju satu tujuan.
Setiap satu tahapan, adalah titik tolak untuk menuju tahapan berikutnya yang dianggap lebih tinggi tingkatannya.
Lahirnya kita ke dunia adalah tahap awal perjalanan. Setelah kelahiran itu, kita membesar menjadi seorang bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Setelah itu kematian segera menjelang.
Fasa- fasa kehidupan kita di dunia hakikatnya adalah :
  1. Masa perjalanan.
  2. Masa perantauan.
  3. Masa perjuangan.
untuk mengumpulkan bekalan sedangkan kematian adalah akhir perjalanan, iaitu masa kembali ke tempat asal kita bermula.
Kematian adalah tempat kembali kita menuju Allah swt, Zat Pencipta.

Apabila kita berasal dari Allah, maka sudah semestinyalah samada dalam alam bawah sedar kita atau dalam lubuk hati kita yang paling dalam ada keinginan untuk kembali kepadanya.
Jelaslah bahwa :
TANAH AIR KITA YANG SEBENARNYA BERADA PADA ALLAH SWT.
Tidak menghairankan pula bila Allah swt menyebut DiriNya sebagai ‘Al- Mashir’ iaitu Zat tempat kita kembali.
Di akhir surah Al-Maidah ayat 48, Allah swt mengungkapkan bahwa :
"Kepada Allahlah tempat kembali kamu ."
Hanya sahaja, tumpukan dosa dan jelaga hitam kemaksiatan telah menutupi sebahagian besar hati kita sehingga keinginan untuk kembali kepada Allah hanya sayup-sayup terdengar bahkan lenyap entah ke mana.
Walaubagaimanapun, seingkar mana pun seseorang manusia, dalam keadaan tertentu apabila dia:
  1. Diancam bahaya.
  2. Bersendirian.
  3. Tatkala bersabung nyawa.
Ia pasti teringat akan tempat kembalinya. Dengan cara apa pun ia pasti kembali kepada Penciptanya.

Seorang `abid mengungkapkan bahwa manusia akan kembali kepada Allah dengan dua cara yang berbeza.

PERTAMA : DENGAN CARA TERPAKSA (RUJU’ IDHTHIRARI)
Setuju atau tidak setuju, mahu atau tidak mahu, kita akan kembali kepada Allah. Inilah yang disebut kematian.

KEDUA : KEMBALI KEPADA ALLAH DENGAN TIDAK TERPAKSA ATAU SECARA SUKARELA (RUJU’ IKHTIYARI)
Dibandingkan kembali dengan terpaksa, maka kembali dengan sukarela lebih banyak jenisnya. Bahkan, boleh jadi kita telah melakukannya dengan berulang-ulang.
Kembali dengan sukarela hakikatnya adalah latihan atau persiapan menghadapi kembali secara terpaksa (kematian).

Apakah perkara-perkara yang kita lakukan secara sukarela untuk kembali kepada Allah?

PERTAMA : IBADAH HAJI

Haji adalah perjalanan kita memenuhi panggilan Allah. Oleh kerana itu, Ka'abah disebut rumah Allah kerana ke sanalah para jamaah haji berangkat, meninggalkan segala urusan dunia demi melepas rindunya bertemu Sang Kekasih.
Perjalanan menuju Ka'abah adalah sebuah simbol dari akhir perjalanan. Ia adalah titik asal semua ciptaan Allah.
Ka'abah adalah harapan dan cinta sehingga ia sentiasa dirindukan oleh orang-orang yang beriman.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Jalaluddin Ar Rumi bahwa Ka'abah secara fizikalnya ada di Makkah tetapi hakikatnya adalah kesinambungan dari Ka'abah yang berada di dalam hati manusia.

KEDUA : A’IDIL FITRI

Secara bahasa ‘A`id’ bererti kembali dan ‘fitri’ bererti agama yang benar, kesucian atau asal kejadian.
Oleh yang demikian, A'idil Fitri dapat diberi makna dengan kembali kepada kesucian atau fitrah atau kembali kepada Allah dengan kesucian jiwa setelah sebelumnya jiwa kita jauh dari Allah kerana dosa-dosa kita.

Namun, sebelum mendapatkan A'idil Fitri, kita diperintahkan untuk melalui bulan Ramadhan dengan berpuasa selama satu bulan penuh.
Dalam jangka masa tersebut, kita ditarbiyah (dididik) untuk membersihkan diri dari segala perbuatan tercela dan membiasakan diri melakukan perkara-perkara yang baik.
Ketika di bulan Ramadhan :
  1. Hawa nafsu dalam diri, kita tundukkan.
  2. Perut kita laparkan.
  3. Jiwa kita kenyangkan.
Ramadhan adalah wasilah untuk mencari bekalan menuju Allah dan A'idil Fitri adalah pertemuan kita dengan Allah dalam kesucian.

Seorang 'abid yang soleh bermunajat kepada Allah :
"Ya Allah, bagaimanakah caranya berjalan menuju ke hadhrat-Mu?
Ketika itu jiwanya mendengar suatu bisikan :
“Ketahuilah bahwa nafsu adalah ibarat gunung yang tinggi dan besar. Dialah yang merintangi perjalanan menuju Allah dan tidak ada jalan lain yang dapat disusuri kecuali mendaki gunung itu terlebih dahulu.

Di gunung itu terdapat beberapa lereng yang curam, belukar yang tebal, banyak duri dan banyak pula perompak yang lalu-lalang untuk menakut-nakuti, menggangu dan menghalau para musafir.
Di sebalik belukar ada pula iblis yang selalu merayu atau menakut-nakuti agar si musafir kembali.
Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat pula rayuan dan ancaman sehingga bila tekad tidak dibulatkan, niscaya si pejalan kaki itu akan kembali ke belakang.

Tetapi, jika perjalanan tetap diteruskan, maka sebentar lagi akan nampaklah cahaya terang benderang.
Pada saat itu akan nampak bahwa ternyata sepanjang jalan ada papan-papan tanda yang memberi petunjuk tentang tempat-tempat selamat yang jauh dari ancaman dan bahaya.
Ada pula tempat berteduh dan telaga-telaga air yang jernih untuk beristirehat sambil melepaskan dahaga.
Apabila perjalanan diteruskan akan dijumpai kenderaan ‘Ar-Rahman’ yang akan menghantar sang musafir bertemu dengan Allah swt bagi menerima balasan yang telah disiapkanNya.”
Oleh kerana itu, A'idil Fitri mengandungi pesanan agar sesiapa yang merayakannya mampu mewujudkan kedekatan dengan Allah swt dan juga dengan sesama manusia.
Kedekatan tersebut diperolehi antara lainnya dengan kesedaran yang telah diperbuatnya dengan saling memaafkan antara satu sama lain dan sentiasa menghadirkan Allah swt dalam setiap aktivitinya.

KETIGA : SOLAT
Lima kali dalam sehari kita disuruh kembali kepada Allah setelah waktu-waktu sebelumnya kita habiskan untuk mencari dunia.
Semasa solat maka pada saat itu pulalah kita menghadap dan merendahkan diri kepada Zat yang menciptakan kita. Tidak salah bila dikatakan bahwa solat itu adalah "Mi'raj" orang-orang yang beriman. Solat juga adalah tempat kembali harian seorang Muslim.

Akhir sekali, perjalanan dan pergerakan manusia dari satu titik ke titik lainnya adalah sebuah kemestian. Ia akan menentukan kualiti kehidupan seorang manusia.
Dengan diam (tidak bergerak), manusia tidak akan menjadi apa-apa dan tidak akan mendapat apa-apa. Oleh kerana itu, tidak ada jalan lain bagi kita selain mesti menuju ke tempat kembali, berjalan dan bergerak sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah dan RasulNya.

Imam Syafi'i pernah bersyair :
"Berjalanlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti orang yang kau tinggalkan dan berbekallah kerana kenikmatan hidup engkau akan engkau dapatkan dalam keletihan. Aku lihat air yang beku berubah menjadi busuk. Jika ia bergerak, tentu akan baik rasa dan rupanya. Harimau, jika tidak meninggalkan sarangnya tentu tidak akan mendapat  mangsanya. Anak panah jika tidak meninggalkan busurnya tidak akan mengenai sasarannya. Begitu juga serbuk emas itu, ketika masih di tempatnya, sama dengan tanah dan kayu gaharu dari negeri asalnya juga sama dengan kayu bakar."
Ya Allah, kepada Engkaulah kami bertawakkal, kepada Engkaulah juga kami meminta segala pengharapan dan kepada Engkau jugalah akhirnya kami akan kembali. Tetapkanlah kami di atas jalanMu yang lurus walaupun kami diuji dengan berbagai ujian samada kesenangan atau kesusahan sehingga kami kembali kepadaMu dalam keadaan redha dan meridhai.

No comments:

Post a Comment