Thursday, November 11, 2010

KORBAN MENGAJAR KITA UNTUK MENGURUSKAN ISMAIL-ISMAIL KITA


Alhamdulillah, kita bersyukur di atas nikmat dan kebahagiaan yang tidak terhingga kepada Allah swt bahwa dalam masa lebih kurang seminggu lagi kita akan merayakan hari raya Aidil Adha, hari raya terbesar bagi umat Islam yang bersifat antarabangsa setelah dua bulan sebelumnya kita merayakan hari raya Aidil Fitri. Pada hari tersebut, sekitar dua hingga tiga juta umat Islam dari berbagai suku, bangsa dan keturunan serta dari berbagai tingkatan sosial dan penjuru dunia berkumpul dan bercampur baur di kota suci Makkah Al-Mukarramah untuk memenuhi panggilan Allah swt untuk menunaikan ibadah haji.

"Dan serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, nescaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengenderai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh". (QS Al-Hajj : 27)
Hari raya Aidil Adha merupakan hari raya yang istimewa kerana dua ibadah agung dilaksanakan pada hari raya ini yang jatuhnya di penghujung tahun hijriyah, iaitu Ibadah haji dan Ibadah kurban. Kedua-duanya disebut oleh Al-Qur'an sebagai salah satu dari syi'ar-syi'ar Allah swt yang mesti dihormati dan diagungkan oleh hamba-hambaNya. Bahkan mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah merupakan petanda dan bukti akan ketakwaan seseorang seperti yang ditegaskan dalam firmanNya :

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati". (QS Al-Hajj : 33)
Begitu juga ia menjadi jaminan akan kebaikan seseorang disisi Allah swt seperti yang diungkapkan secara korelatif pada ayat sebelumnya,

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya". (QS Al-Hajj : 30)
Kedua ibadah agung ini iaitu ibadah haji dan ibadah kurban tentunya hanya mampu dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah swt yang merupakan makna ketiga dari hari raya ini di mana "Qurban" berasal dari kata "qaruba – qaribun" yang bererti dekat.
Jika kedudukan seseorang jauh dari Allah, maka dia akan mengatakan lebih baik bersenang-senang untuk mengelilingi dunia dengan hartanya daripada pergi ke Makkah melaksanakan ibadah haji.  Namun bagi hamba Allah yang memiliki kedekatan dengan Rabbnya, dia akan mengatakan "Labbaik Allahumma Labbaik" (Aku memenuhi seruanMu ya Allah).  Demikian juga dengan ibadah kurban. Seseorang yang jauh dari Allah swt tentu akan merasa berat mengeluarkan hartanya untuk tujuan ini. Namun mereka yang kedudukannya dekat dengan Allah akan terasa mudah untuk mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata memenuhi perintah Allah swt. Mencapai posisi dekat "Al-Qurban/Al- Qurbah" dengan Allah tentunya bukan merupakan pembawaan sejak dari kelahirannya melainkan ianya sebagai hasil dari latihan atau mujahadah dalam melaksanakan apa sahaja yang diperintahkan oleh Allah swt kerana seringkali berlaku pertentangan antara keinginan diri (hawa nafsu) dengan kehendak Allah (ibadah). Di sinilah akan tersingkap sikap berpihak seseorang, samada kepada Allah atau kepada selainNya sehingga pertanyaan dalam bentuk "muhasabah” (penilaian diri) dalam konteks ini adalah :

"Mampukah kita mengorbankan keinginan dan kesenangan kita yang akan membuktikan kita sudah berpihak kepada Allah?
Sekali lagi, ibadah haji dan ibadah kurban merupakan gerbang untuk mencapai kedekatan kita dengan Allah swt.  Contoh manusia yang begitu dekat dengan Allah yang kerananya diberi gelaran "Khalilullah" (kekasih Allah) adalah Nabi Ibrahim.  Peribadi Nabi Ibrahim dengan kedekatan dan kepatuhannya secara sempurna kepada Allah tampil sekaligus dalam dua ibadah di hari raya Aidil Adha, iaitu ibadah haji dan ibadah kurban.

A. IBADAH HAJI
Dalam ibadah haji, peranan Nabi Ibrahim tidak boleh dilupakan. Tercatat bahwa syariat ibadah ini sesungguhnya bermula dari panggilan Nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah swt dalam firmanNya :

"Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku' serta sujud. Dan kemudian serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, nescaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengenderai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh". (QS Al-Hajj : 26-27)
Ibadah ini mesti bermula dengan sikap bersiap sedia seseorang untuk menanggalkan seluruh sifat dan penampilan luaran yang mencerminkan kedudukan dan status sosialnya dengan hanya mengenakan dua helai kain `ihram' yang mencerminkan sikap tawadu' dan persamaan antara seluruh manusia.  Dengan pakaian yang sederhana ini, seseorang akan lebih mudah mengenal Allah kerana dia sudah mengenal dirinya sendiri melalui ibadah wuquf di Arafah. Dengan penuh kekhusyukan dan ketundukan, seseorang akan larut dalam zikir, munajat dan taqarrub kepada Allah sehingga ia akan lebih bersedia untuk melaksanakan seluruh perintahNya selepas itu.
Dalam proses bimbingan kerohanian yang cukup panjang ini, seseorang akan diuji pada hari berikutnya dengan melontar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syaitan dan terhadap setiap yang menghalangi kedekatan dengan Rabbnya. Kemudian segala aktiviti kehidupannya akan diarahkan untuk Allah, menuju Allah dan bersama Allah dalam ibadah tawaf mengelilingi satu titik fokus yang bernama ka'bah. Titik kesatuan ini penting untuk mengingatkan arah dan tujuan hidup manusia :

"Katakanlah: "Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seru sekelian alam". (QS Al-An'am : 162)
Akhirnya dengan modal keyakinan ini, seseorang akan giat berusaha dan berikhtiar untuk mencapai segala cita-cita dalam naungan ridha Allah swt dalam bentuk sa'ie antara bukit Shafa dan bukit Marwah.  Demikianlah ibadah haji yang sarat dengan pelajaran yang kembali ditampilkan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya.

B. IBADAH KURBAN
Dalam ibadah kurban, Nabi Ibrahim kembali tampil sebagai manusia pertama yang mendapat ujian pengorbanan dari Allah swt. Ia menunjukkan ketaatannya yang tidak berbelah bagi dengan menyembelih putera kesayangannya yang dinanti kelahirannya sekian lama.

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS Ash-Shaffaat: 102)
Begitulah bagaimana manusia akan diuji dengan apa yang paling ia cintai dalam hidupnya.  Andaikata Nabi Ibrahim seorang manusia yang dha'if, tentulah agak sukar baginya untuk membuat pilihan di mana salah satu di antara kedua pilihan itu memiliki keterikatan yang besar dalam hidupnya iaitu Allah atau Isma'il.

Berdasarkan akal rasional, boleh jadi Nabi Ibrahim akan lebih memilih Isma'il dengan menyelamatkannya dan tanpa menghiraukan perintah Allah tersebut. Namun ternyata Nabi Ibrahim adalah peribadi hamba pilihan Allah yang bersedia memenuhi segala perintahNya dalam bentuk apapun.  Ia tidak ingin cintanya kepada Allah menjadi pudar semata-mata lebih mencintai puteranya. Akhirnya ia memilih Allah dan mengorbankan Isma'il yang akhirnya menjadi syariat ibadah kurban bagi umat Nabi Muhammad saw.

Seorang penulis mengatakan bahwa Isma'il adalah sekadar simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini.  Jika "Isma'ilnya" Nabi Ibrahim adalah puteranya sendiri, lantas siapakah "Isma'il" kita?
Boleh jadi ianya adalah : Diri kita sendiri, Keluarga kita, Anak kita,  Isteri kita,  Harta kita, Pangkat kita, Jawatan kita.  Yang jelas, semua apa yang kita miliki boleh menjadi "Isma'il" kita yang kerananya akan diuji dengan itu. Kecintaan kepada "Isma'il" itulah yang kerap membuatkan iman kita goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah.  Kecintaan kepada "Isma'il" yang berlebihan juga akan membuatkan kita menjadi : Ego, mementingkan diri sendiri, bernafsu serakah dengan tidak mengenal batas kemanusiaan. Allah swt mengingatkan kenyataan ini dalam firmanNya :

"Katakanlah: jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. " Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik". (QS At-Taubah : 24)
Oleh kerana itu, dengan melihat keteladanan berkurban yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim, walauapapun "Isma'il" kita, walauapapun yang kita cintai, kurbankanlah apabila Allah menghendaki.  Janganlah kecintaan terhadap "Isma'il-Isma'il" itu membuatkan kita lupa kepada Allah. Tentunya, masyarakat kita sangat memerlukan hadirnya peribadi seperti Nabi Ibrahim yang sentiasa bersedia berbuat sesuatu untuk kemaslahatan orang ramai meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya. Ketaatan yang tidak kurang teguhnya dalam menjalankan perintah Allah adalah ketaatan Isma'il untuk memenuhi tugas bapanya. Persoalannya adalah,
  1. Kenapa Isma'il, seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya?
  2. Bagaimanakah Isma'il memiliki kepatuhan yang begitu tinggi?
Nabi Ibrahim sentiasa berdoa :

"Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang soleh." (QS Ash-Shaffaat: 100).
Maka Allah mengabulkan doanya :

"Maka Kami beri dia khabar gembira dengan "Ghulamun Halim" - seorang anak yang amat sabar dan santun". (QS Ash-Shaffaat : 101).
Inilah rahsia kepatuhan Isma'il yang tidak terlepas dari peranan ibu bapanya dalam proses bimbingan dan pendidikan.   Peribadi "Ghulamun Halim" dalam ertikata seorang yang sabar dan santun yang memiliki kemampuan untuk menggabungkan antara sikap rasional dengan akal budi tidak mungkin lahir begitu sahaja tanpa melalui proses pembinaan yang panjang sehingga dengan semangat waja, Isma'il berkata kepada ayahandanya dengan satu kalimah yang indah : 
"Wahai ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah, nescaya insyaAllah, ayah akan mendapatiku seorang yang tabah hati". (QS Ash-Shaffaat : 102)
Ibu bapa mana yang tidak terharu dengan jawaban seorang anak yang ringan melaksanakan perintah Allah yang dibebankan kepada bahu ayahandanya.

Ayah mana yang tidak terharu melihat peribadi dan perilaku anaknya yang begitu lembut hati dan prihatin.

Di sinilah peri pentingnya pendidikan keagamaan bagi seseorang anak semenjak mereka masih kecil lagi, jangan menunggu ketika mereka sudah remaja apalagi dewasa.

Sungguh keteladanan Nabi Ibrahim boleh dicontohi sejak dari bagaimana ia mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang berstatus “Ghulamun Halim”.
Setelah meneliti dua pelajaran kehidupan beragama yang sangat berharga di atas, Dr. Mustafa As Siba'i pernah mengajukan pertanyaan yang menarik yang menggugah hati :
  1. "Adakah seorang muslim di hari raya ini akan menjadi peribadi ego yang mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain?"
  2. "Apakah ia akan menjadi peribadi yang mementingkan orang lain di bandingkan dirinya, lalu mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan dirinya tersebut?"
Memang secara fitrah, manusia cenderung bersikap ego dan mementingkan diri sendiri. Ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya.  Namun demikian, di samping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri dan pada kebiasaannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebahagian haknya untuk orang lain sehingga hasil dari kerjasama tersebut, ia akan dapat mengambil manfaat berupa kewujudan kehormatan dan kepentingannya.

Oleh kerana itu, beberapa jenis pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi sebahagian dari kemestian dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia. Dalam hal ini, tentulah kita bersepakat bahwa kita sangat terhutang budi dalam setiap kenikmatan hidup material mahupun "non-material" terhadap orang-orang yang telah berkurban dan mendahulukan kepentingan orang lain.

Kita terhutang budi dalam bidang ilmu pengetahuan kepada para pengarang termasuk ulama, muhadditsin, mufassirin dan lain-lain yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat mereka. Ungkapan Imam Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka lakukan untuk ilmu pengetahuan :

"Aku bersekang mata untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan, itu lebih nikmat bagiku dibandingkan dengan bersenda gurau dan bersenang-lenang dengan wanita yang cantik".
  
"Aku bergerak ke sana ke mari untuk memecahkan satu masalah ilmu pengetahuan, itu lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan dengan hidangan makanan yang lazat".

Ya Allah, bangunkanlah semangat berkurban dalam diri dan jiwa kami sebagaimana ianya dimanifestasikan dalam ibadah haji dan kurban. Jadikanlah Nabi Ibrahim dan Isma'il sebagai contoh tauladan kami dalam pendidikan anak dan pengorbanan serta kesiapan dalam melaksanakan perintahMu. 

LAYARI QURBAN DAN AQIQAH 

No comments:

Post a Comment